Kenapa judul diatas pakai …lagi..yang kena..?? Blaming your self, your residence, your decision maker in your territory or start to blame it on the government ? Well, no matter hows to blame and how effort you have been blaming over that words, that’s your voice to react this situation.
Ada rencana atau keputusan kebijakan yang sudah sampai pada tahap mana, yang sedikit banyak mengganggu dunia pendidikan. Wew..sedikit mengganggu.. kali ini pendidikan diwilayah kota Jakarta khususnya. Pemerintah Daerah berencana memajukan jam belajar siswa/i sekolah menjadi pukul 06.30 wib hanya karena mungkin dengan harapan majunya jam belajar sekolah dapat membantu mengatasi kemacetan yang terjadi di kota Jakarta tercinta ini. Disini jelas bahwa tidak maksimalnya fungsi tata kota (Pemda) hingga dengan tega(kalau terjadi) membuat keputusan yang menyentuh dunia pendidikan.
Bukankah masalah kemacetan sudah ada yang dipercayakan mengurusnya ? Seberapa jauh kinerja mereka hingga ada wacana seperti ini ? Begitu mudahkah wacana tersebut keluar dan dijalankan sebelum berkoordinasi dengan pihak-pihak lain dan berkaitan terkait di Pemda Kota Jakarta !
Kalaupun wacana diatas benar-benar dijalankan, tidak mungkin dapat menyelesaikan masalah kemacetan yang terjadi di Ibukota yang tercinta ini. Wacana ini hanya memindahkan jam kemacetan bahkan bisa membuat jam kemacetan baru atau lebih parah lagi memperpanjang jam kemacetan di wilayah kota Jakarta.
Well !! tulisan ini mungkin disebut orang sebagai ketakutan pribadi sesaat, yang tidak mau kehidupan keluarganya (dalam hal ini waktu atau siklus kehidupan yang sudah menjadi kebiasaan) direpotkan dengan wacana diatas ..ups.. saya sudah menyebutkan alasan pertama mengapa wacana tersebut perlu dipikirkan untuk tidak dilaksanakan (bias dibilang this our family ego’s). Anda bisa bayangkan bagaimana repotnya merubah kebiasaan dalam keluarga ( pagi hari ..lho..!!! ), terlebih usia sekolah anak antara 5 sampai 9 tahun. Sedikit gambaran : Suami bersiap berangkat kerja, Istri melakukan persiapan kebutuhan keluarga (tanpu pembantu RT) dibantu Suami mulai dari keperluan rumah, sekolah anak dan lain-lain sementara masih memiliki balita yang butuh perhatian khusus hingga mengantar anak ke sekolah. Sang suami dituntut kewajibannya di kantor hingga jarang sekali dapat mengantar anak-anak mereka ke Sekolah.
Alasan kedua, berapa banyak perubahan yang dilakukan sekolah-sekolah hingga dapat memenuhi wacana diatas. Jam belajar mengajar sudah pasti berubah, kondisi inipun harus disesuaikan dengan jadwal kedatangan para pengajar yang otomatis harus lebih awal datang ke Sekolah. Meski tidak mempengaruhi kurikulum dan system pendidikan yang sudah ada masalah perubahan jam belajar mengajar sedikit banyak pasti mengganggu aktifitas belajar mengajar di masing-masing sekolah. Berapa lembar kertas jadwal belajar mengajar di satu sekolah yang harus dirubah ? Berapa banyak lagi tinta cetakan yang terbuang ? huh… di Jakarta ada berapa Sekolah ..ya..
Ketiga, alasan ini berhubungan dengan alasan yang kedua diatas. Para pengajar dan semua tenaga staff yang berhubungan dengan kegiatan di sekolah harus menyesuaikan lagi jadwalnya. Jam berapa mereka harus sampai di sekolah tepat pada waktunya sementara mereka juga memiliki siklus kehidupan pribadi yang notabene harus dirubah juga …lho kok..berhubungan juga dengan alasan pertama…
Well… bingung neh.. semua alasannya berhubungan, apa sudah tidak ada alasan lain selain diatas ? atau stuck in this moment… I’d rather to .iygafbkjb’aieofh’aikhfaehfufiusgwvbbfsjefgjg;pjhfnlkanlekfnlkefnlkke ygwfgwofwffgw gegigfwif.
Oh ya !!! Mengapa pakai judul …lagi..yang kena..?? (review)
Seperti yang sudah terjadi pada dunia pendidikan di tanah air. Pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan menerapkan system standar ujian nasional bersama yang katanya berbasis kompetensi. Kalau tidak salah ada nilai standar mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Satu tujuan mulia apabila dunia pendidikan di tanah air mencapai itu semua. Meski banyak siswa/i dan sekolah-sekolah tidak siap bahkan bisa dibilang kaget dan shock dengan keputusan tersebut namun show must go on, dengan penuh percaya diri keputusan harus dijalankan.
Pemerintah punya kehendak, saya sebagai warga negara cuma bisa punya pendapat :
Itu semua cita-cita instans, kenapa instans ya.. karena itu semua kebijakan terburu-buru yang diambil dunia pendidikan di tanah air. Kenapa saya tulis terburu-buru ?
Apakah jauh sebelumnya pemerintah menyediakan kewajibannya dengan menetapkan standar pendidikan dari tingkat dasar, menengah sampai pendidikan tinggi mulai dari sarana penunjang pendidikan sampai system pengajaran di setiap sekolah ? Apakah ada pengawasan sebelum mengeluarkan ijin penyelenggaraan pendidikan (sekolah) di tanah air ? Apakah semua sudah merata dan memiliki standar yang ditetapkan ? jika sudah, sejauh mana implementasi dan pengawasannya ? Perlu dicatat tidak semua sekolah-sekolah di tanah air memiliki standar system pendidikan yang sama apalagi sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan belajar mengajar. Masih banyak sekolah-sekolah yang ……………….. maaf ..kondisinya memprihatinkan.
Belum lagi letak geografis tanah air kita yang kurang menguntungkan bagi sekolah-sekolah yang berada di tempat terpencil dan memiliki sarana yang kurang memadai dalam kegiatan belajar mengajar.
Dan juga ada yang perlu untuk diingat bahwa tingkat perekonomian masyarakat di tanah air sudah pasti berbeda. Dalam hal ini saya ambil contoh kasus untuk dijadikan renungan untuk kita :
Di suatu wilayah kecamatan yang sama ada dua orang siswa yang setara pendidikannya dalam arti sama-sama berada di kelas 2 pada dua sekolah menegah pertama yang berbeda. Siswa yang pertama (A) dengan keterbatasan ekonomi keluarganya kebetulan hanya mampu bersekolah di SMP swasta yang kondisi sekolahnya xytugvjlhbv (lumayan deh..) Sementara siswa yang kedua (B) yang kebetulan ekonomi keluarganya baik bersekolah di SMP swasta bagus yang difavoritkan yang notabene kondisi sarana dan prasarana sekolahnya bagus. Dari kondisi diatas saja kita sudah dapat melihat bahwa tiap-tiap sekolah pasti memiliki sarana dan prasarana penunjang yang berbeda (dikarenakan tidak adanya pengaturan pengawasan standar setiap sekolah dari pemerintah) dan ironisnya kantin di kedua sekolah tersebut menyediakan jajanan makanan yang memiliki nilai ekonomis dan tingkatan kadar gizi yang berbeda. Jajanan/makanan yang tersedia di kantin sekolah (B) terdapat menu-menu mahal yang otomatis memiliki kandungan gizi yang berbeda dengan jajanan yang tersedia di kantin sekolah A. Wwew di sekolah aja asupan gizi siswa/i di sekolah B sudah cukup baik apalagi asupan gizi yang didapat dari rumah yang sangat dipengaruhi tingkat perekonomian keluarga mereka.Dan tentunya masih banyak lagi alasan lain diluar yang saya tulis diatas yang merupakan pendapat dari seorang warga negara. Oh yah apa masih mau diteruskan wacana-wacana diatas ?????