(…hmhmm…) setelah membaca tulisan Sdri. Pingkan Elita Dundu
Kaget dan sedih juga pagi ini setelah membaca artikel di salah satu media nasional yang berjudul sektor pendidikan belum prowarga, oleh Pingkan E D. Disana (..lagi-lagi..) disebutkan berbagai pungutan yang harus dipenuhi para orang tua murid untuk memenuhi kebutuhan sekolah dengan berbagai macam alasan dan cara yang ditempuh oleh pihak sekolah dimana pungutan tersebut paling tidak (seharusnya) diketahui atau disetujui oleh pihak komite sekolah. Pungutan tersebut memang kerap terjadi terlebih di SDN dan SMPN yang (memaksakan diri) berstatus sebagai sekolah percontohan atau sekolah standar nasional bahkan sekolah standar internasional, sehingga pihak sekolah merasa perlu melengkapi semua sarana dan prasarana pendukung kegiatan belajar mengajar dengan membebankannya kepada orangtua murid. Padahal perlu diingat bahwa pemerintah (pemda DKI Jakarta) menghimbau untuk tidak melakukan pungutan dalam bentuk apapun untuk kegiatan operasional sekolah yang dituangkan dalam Peraturan Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta no. 1 tahun 2007 dikarenakan pemerintah telah mengalokasikan dana operasional pendidikan (BOP) untuk setiap siswa SD sebesar Rp 60.000,. perbulan untuk siswa SMP sebesar Rp 110.000,. perbulan dan bantuan operasional sekolah (BOS) untuk setiap siswa SD sebesar Rp 21.000,. perbulan dan Rp 29.500,. perbulan untuk setiap siswa SMP.
Kehadiran komite sekolah juga dipertanyakan bahkan dikeluhkan oleh sebagian besar orangtua murid yang tidak tahu dan tidak dilibatkan dalam kesepakatan yang dibuat antara pihak sekolah dan komite sekolah mengenai berbagai pungutan yang telah mereka tentukan. Sebagian besar …yup… sebagian besar karena hasil survey yang diadakan ICW pada tahun 2007 menunjukkan bahwa hanya 29,7 % orangtua murid yang tahu dan dilibatkan dalam pembahasan APBS sisanya sebesar + 70 % tidak mengetahui apalagi
dilibatkan dalam pembahasan APBS.
Dari semua tulisan diatas ada “sesuatu” yang patut diungkapkan disini, yaitu :
Kalau pihak sekolah tetap melakukan pungutan guna memenuhi kebutuhan kegiatan belajar di sekolah dengan alasan anggaran pendidikan dari pemerintah sangat kecil hingga tidak mencukupi memenuhi kebutuhan tersebut, sementara pemerintah telah mengalokasikan dana bantuan untuk operasional pendidikan (BOP) dan operasional sekolah (BOS) dalam jumlah yang tidak sedikit. ( bisa dibilang cukup untuk ukuran bantuan persiswa tiap bulan dengan alokasi seperti diatas )
Sejauh mana kuncuran dana APBD pemerintah tersebut direalisasikan berikut pengawasan penggunaannya ?
Seberapa besar harusnya pemerintah mengalokasikan dana bantuan tersebut untuk setiap siswa dalam satu bulan ?
Adakah kemauan/kepedulian dari para orangtua murid untuk mengawasi kegiatan tersebut diatas atau paling tidak ikut aktif ambil bagian di dalamnya dengan menjadi anggota komite sekolah secara sukarela ???
Adakah batasan antara sarana/prasarana penunjang kegiatan belajar mengajar dengan kebutuhan pribadi siswa/i dalam proses belajar sehingga jelas mana kewajiban orangtua murid dan mana kewajiban sekolah atau sejauh mana kewajiban pemerintah dalam memenuhi kegiatan belajar mengajar disekolah karena dalam hal ini bukankah pemerintah yang menetapkan nilai standar kelulusan siswa hingga sudah sepatutnya pemerintah juga yang berkewajiban penuh untuk menyelenggarakan pendidikan berstandar nasional berikut pengawasannya.
Wweew !!! pertanyaan diatas tidak perlu dijawab ccooyy !!! (Budi Anduk, words) cukup dijadikan renungan bagi kita sebagai warga negara yang peduli dengan dunia pendidikan.
Tapi ada sedikit “ide cukup gila” sekedar mencari solusi yang baik buat kondisi diatas. Coba,.. kalau buku-buku pelajaran disekolah benar-benar gratis, tapi bagaimana caranya ya..trus biaya produksi siapa yang tanggung ????
Pikiran ini keluar begitu aja dari kepala setelah membaca harian tersebut dan menaruhnya diatas meja, terlihat jelas diatas meja yang sama terdapat majalah dan bulletin (produksi teman) yang diberikan cuma-cuma alias gratis 100% tanpa mengganti ongkos cetak dan produksi. Kok bisa ?? bukankah biaya produksi suatu bahan cetakan itu mahal terlebih dalam bentuk majalah atau bulletin ditambah lagi ini rutin. Yup … seperti yang semua tahu biaya produksi tersebut ditutupi oleh iklan-iklan yang tayang dan para sponsorship atau partner kerja yang berhubungan dengan majalah atau bulletin tersebut. Dan ternyata bulletin maupun majalah ini ada banyak ragamnya mulai dari majalah musik, fashion, seputar hobi maupun majalah yang distribusinya diberikan khusus untuk kalangan tertentu misalnya umum atau anak sekolah. Trus..hubungannya apa ??
Ya..kenapa nggak buku-buku pelajaran sekolah digratiskan juga dan tentunya biaya produksi buku tersebut paling tidak sama dengan majalah gratis diatas ditanggung pihak sponsor.
Saya bisa bayangkan ada satu buku pelajaran bersampul iklan atau paling tidak pada cover/sampul buku tersebut terdapat iklan dari sponsor yang bekerjasama dengan penerbit buku yang ditunjuk oleh pemerintah. (tapi iklan yang bermutu loh…maksudnya yang relevan gitu..bukan iklan rokok atau apa..)
Memang produksi buku sekolah pasti banyak jumlahnya tapi buku ini diproduksi hanya sekali pada saat penggantian tahun ajaran baru tidak rutin seperti majalah atau bulletin gratis diatas.
Bagi pihak sponsor atau dalam hal ini perusahaan yang bekerjasama tentunya dapat mengambil sedikit keuntungan dengan lebih dikenalnya produk mereka di kalangan anak sekolah khususnya dan dikalayak masyarakat luas pada umumnya. Sponsorship ini juga dapat dilihat menjadi salah satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat. Tapi itu semua harus tetap diatur dan diawasi oleh pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan yang berkewajiban mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pendidikan.
Well…. Wallahualllam…
Then tolong awasi juga tender-tender penerbitan buku sekolah, kalau dibebaskan dan terlalu terbuka jadi kurang efektif dampaknya buat sebagian orangtua murid termasuk saya …. Bayangkan… sayang loh… kalau tiap tahun harus gonta-ganti buku pelajaran dari setiap penerbit yang berbeda.
Just FYI : anak saya yang kedua tidak dapat memakai buku pelajaran bekas kakaknya di kelas sebelumnya dan ini terjadi beberapa tahun belakangan ini.
Ironic khan ..padahal masih teringat ketika dahulu masih di sekolah SD atau SMP saya masih bisa memakai buku pelajaran bekas kakak saya bahkan masih bisa dipakai lagi oleh sepupu saya.
Wassalam…